Senin, 21 Desember 2009

Umpamanya, Ini Umpamanya,..

Agung Purwantara

Apakah ada perbedaan di muka hukum, warga negara satu dengan yang lain? Apakah hukum bisa berlaku berbeda ketika mengadili seorang guru yang mencuri dan seorang bupati yang juga melakukan pencurian? Atau seorang yang kelaparan kemudian mencuri dan seorang berkecukupan yang korupsi? Yang jelas, semua wajib mendapatkan hukuman dan keadilan. Stop…

Kalau mendapat hukuman itu jelas. Tetapi kalau mendapat keadilan, itu yang menjadi soal. Dan terbukti, pelaksanaan hukuman di Indonesia masih sangat jauh dari keadilan. Hukum di negeri ini jauh panggang dari pelaksaan keadilan. Beberapa fakta ketidak adilan mencuat dan begitu memikat.

Sebut saja, Prita yang dihukum dengan tuntutan ganti rugi 204 juta gara-gara email tentang ketidakpuasanya terhadap pelayanan RS. Omni Internasioanl menyebar. Kemudian rumah sakit tersebut menuntut Prita atas pencemaran nama baik.

Dulu, orang sempat heran, email kok bisa dijadikan alasan penuntutan atas pencemaran nama baik. Bukankah email itu ruang privat. Sedangkan pencemaran nama baik itu di ruang publik. Iya, kalau Prita itu mengirim email ke sebuah lembaga penerbitan pers kemudian diterbitkan sebagai surat terbuka. Tetapi, keputusan sudah jatuh dan Prita harus mengganti rugi nama baik RS. Omni Internasional yang ngotot merasa tercemar.

Masih ingat, kasus pencurian 3 biji kakao? Yang menyeret seorang nenek ke meja hijau, karena mengambil 3 biji kakao yang akan ditanamnya. Pihak perkebunan ngotot menuntut agar pelaku jera dan tidak akan terjadi lagi hal seperti itu. Padahal, perkebunan itu sedang menghadapi tuntutan warga atas tanah perkebunan yang dikalin sebagai tanah adat warga. Ini namanya jeruk raksasa memakan jeruk kerdil. Kemudian kasus pencurian satu buah semangka, yang pelakunya terancam tuntuan hukuman penjara dua bulan.

Sekarang ngomong tuntutan hukuman…secara sederhana dan gampang…

Umpamanya, semangka 1 klogramnya 2000,00 rupiah, paling besar 10 kg dengan harga 20.000,00 rupiah. Katakanlah semangka yang dicuri itu seberat 10 kg, berarti yang hilang adalah uang Rp. 20.000,00. Kurungan 2 bulan untuk sebuah semangka yang setara 20.000,00 rupiah.

Nah, berapa lama seharusnya kurungan yang diancamkan kepada koruptor yang menelan 6.7 triliun di Bank Century? Atau bandingkan dengan 3 buah biji kakao.

Umpamanya loh, ini umpamanya..

Senin, 23 November 2009

Bila kereta api cepat dihentikan mendadak.

Apa yang terjadi ketika sebuah bus berkecepatan tinggi tiba-tiba direm? Kemungkinan teringan adalah penumpang di dalam akan merasakan momentum yang membuat mereka tersuruk ke depan. Bagaimana jika sebuah kereta api melaju dengan kecepatan tingi, kemudian direm secara mendadak kemungkinan yang akan terjadi adalah, gerbong-gerbong kereta itu akan terhentak dan terguling keluar rel.

Selama beberapa waktu, kita merasakan momentum gerak kasus cicak vs buaya yang semakin cepat dan rumit. Kecepatan kereta hukum itu seakan mencapai titik tertinggi yang seolah olah tidak terhentikan. Dua lembaga itu seakan berlomba memacu kecepatan dalam hal memberantas korupsi. Namun, yang terjadi malah kontra produktif. Dua lembaga terjebak dalam pertandingan yang tidak sehat.

Seharusnya mereka berjalan sejajar sesuai tugas masing-masing. Sekarang mereka beradu cepat. Parahnya mereka sudah beradu muka. Menentukan siapa yang menang siapa yang kalah. Masyarakat gerah. Gerakan berantas korupsi menjadi ilusi karena lembaga yang berwenang berebut tugas.

Tidak ada yang salah dalam rel hukum di sini. Namun bila dua gerbong kereta saling beradu muka. Tabrakan tak bisa dihindari. Masinis dua kereta terjebak dalam perseteruan berebut jalan. Kepala stasiun pusat diharapkan bisa menghentikan laju kereta hukum yang sudah tak terkendali.

Pertanyaannya, bisakah dua gerbong kereta hukum ini dihentikan secara mendadak tanpa ada yang kalah dan menang? Maukah dua gerbong hukum ini mengalah demi hukum? Mampukah kepala stasiun pusat menghentikan dan menyelamatkan dua gerbong ini?

Bila kereta dihentikan secara mendadak pada kecepatan tinggi, hampir bisa dipastikan akan mengalami hentakan, keluar rel dan terguling. Masinis masing-masing akan dimintai pertanggunganjawab. Kepala stasiun pun akan dimintai pertangunganjawab.

Namun, bagaimana bila cicak dan buaya memasuki wilayah politik?

Kamis, 08 Oktober 2009

Daun Gugur

Bila jatuh selembar daun dari pohon yang masyhur
Bergoncanglah bumi yang ditimpa karena duka
Badannya bergetar, air matanya tumpah…

Musim pancaroba ini
Tak hanya selembar daun yang gugur

Bahkan bumi membanjir duka
Juga tak terbendung hujan bercurah air mata
Selembar daun di kawal satu yang tak terbayangkan
Bagai makhluk bersayap seribu cahaya
Membentang dari ufuk ke ufuk

Kali ini...

Tidak hanya selembar daun
Dan satu yang tak terbayangkan
Namun...
Lebih dari seorang yang tertimpa nestapa
Dan sayap duka itu membentang di bumi Sumatera

Surabaya
07 11 09

Kamis, 19 Februari 2009

Aura Kebohongan

Melihat pamflet-pamflet caleg yang marak seiring mendekatnya momentum demokrasi di tanah air ini, sering membuat saya tersenyum kecut. Media komunikasi politik sederhana itu lebih terlihat harus membawa beban berat. Bagaimana bisa selembar kertas atau plastik paling besar ukuran baliho 8X4m atau 12x6m itu harus mengusung pesan politik yang denikian berat.

Akhirnya yang terjadi adalah, pamer tampang dan slogan yang kadang-kadang terdengar lucu. Tapi, mungkin inilah demokrasi kita...

Demokrasi bisa menjadi atau melalui sarana apa saja. Bahkan guyonan pun bisa menjadi sebuah pesan politik. Entah audience politiknya itu mengerti atau tidak. Para caleg itu mungkin berfikir, bagaimana memuat agenda politik yang segunung anakan ke dalam sebuah poster dengan ukuran terbatas. Yang terjadi adalah.....

Ada yang mengusung nama besar nenek moyangnya, untuk menjelaskan kemampuan politiknya. Ada yang berlomba mencipta slogan, demi kemakmuran, demi rakyat, bekerja tanpa pamrih, jujur dan bijaksana...Ada pula yang pamer status pendidikan, SH, Msi, DRS, MH, S.Pd dan menyebutkan sederet almamater yang pernah mereka hampiri...
Sungguh dahsyat...

Komentar teman saya, "Kenapa ya tampang para caleg itu? Seperti ada aura...Kebohongan." Kata teman saya lirih. Mungkin.... jawab saya ikut mengamati.