Jumat, 18 Februari 2011

Berat siapa yang memikul, ringan rebutan menjinjing

Suatu ketika, berada di dalam sebuah angkot di kota Malang, Jawa Timur. Sejuknya kota pegunungan ini sudah tidak lagi terasa. Buktinya, saya berkeringat karena pengap.

“Sekarang angkot sepi,” celetuk sopir. “Banyak orang punya sepeda motor.” Begitu keluhnya. Memang, pikirku. Banyak orang memiliki sepeda motor. Bahkan tanpa uang muka pun orang dapat membawa pulang sepeda motor baru.

Kemudahan kredit sepeda motor juga mobil membuat kepadatan jalan semakin menjadi. Ancaman peningkatan polusi pun sudah sepatutnya diwaspadai. Kebutuhan bahan bakar pun menjadikan perhitungan semakin runyam.

“Gak jalan gak dapat uang. Kalau jalan habis bensin penumpang sepi,” keluh sopir . Aku tidak menanggapi. Gerutuan adalah hal biasa dalam suasana seperti ini. Anggap sepi saja. Semua orang tahu, masalah transportasi masih jauh dari nyaman. Dan bahan bakar menjadi ancaman kebutuhan.

Banyak orang merasa jatuh miskin, ketika bahan bakar naik harga. Transportasi pun semakin mahal. Orang-orang memilih kredit kendaraan, meski itu artinya juga kesulitan. Semua orang merasa kesulitan. (Kecuali mereka yang dengan mudahnya menambah atau mengurangi nol di setiap tagihan pajak)

Angkot berhenti. Sepasang pengamen tua naik. Setelah duduk, yang perempuan menyiapkan uang recehan. Aku memperhatikan diam-diam. Angkot berjalan lagi dengan malas.

Tidak berapa lama, berhenti lagi di sebuah perempatan. Seorang pengamen muda bersemangat memainkan gitarnya. Dalam suasana pengap dan kesulitan ekonomi, semua penumpang hanya diam. Sampai pengamen bergitar itu menyelesaikan lagunya.

Aku terkesima. Pengamen tua itu mengulurkan sejumlah recehan kepada pengamen muda yang bersemangat itu. Sebuah pelajaran dating bagai ilham. Meski sulit, tetaplah berbagi. Seperti kata pepatah, “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” |Agung|